Arti ‘Penyerahan’ dalam UU PPN
(Bagian I)
Kata ‘penyerahan’, dalam kehidupan
sehari-hari di luar pajak, mungkin tidak bermakna banyak. Tetapi lain
ceritanya kalau bicara ‘penyerahan’ dalam konteks pajak khususnya
PPN/PPn-BM. Sebab jika salah memahami kata yang satu ini, kita berisiko
dikenakan sanksi perpajakan.
Pada Pasal 4
UU PPN, khususnya pada huruf a dan c, menyatakan bahwa PPN terutang atas
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan juga atas penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha di dalam Daerah Pabean.
Dalam UU PPN
yang ada tidak dijelaskan apa sebenarnya definisi dari kata ‘penyerahan’
itu. Hanya dalam Pasal 1 angka 4 UU PPN dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kata ‘penyerahan Barang Kena Pajak’ adalah setiap kegiatan
penyerahan BKP. Sementara kata ‘penyerahan Jasa Kena Pajak’
dinyatakan dengan kalimat setiap kegiatan pemberian JKP.
Keliru?
Siap-Siap Kena Sanksi Pajak
Sebagai WP
apalagi jika sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), kita harus memahami
benar kata atau istilah ‘penyerahan BKP/JKP’ ini. Sebab
jika kita keliru memahaminya, bisa berisiko kena sanksi pajak.
Dalam dunia
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN/PPn-BM),
istilah ‘penyerahan BKP’ atau ‘penyerahan JKP’ itu
identik dengan kata ‘sudah terutang PPN’ (terutama dalam hal
penyerahan terjadi lebih dahulu dari pada penerimaan pembayaran). Jadi
kalau dikatakan: “sudah terjadi penyerahan BKP…” maka itu artinya
sama dengan: “sudah terutang PPN…”. Kemudian jika
penyerahan BKP/JKP sudah terjadi (atau sudah terutang PPN), maka PKP wajib
membuat (baca: menerbitkan) Faktur Pajak pada saat itu juga.
Jika PKP
terlambat menerbitkan Faktur Pajak sehari saja, PKP dapat dikenai sanksi
administrasi denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (harga jual,
penggantian, atau DPP lainnya) yang tercantum dalam Faktur Pajak yang
bersangkutan. Jadi jika misalnya ada Faktur Pajak dengan harga jual (DPP)
senilai Rp 1 milyar terlambat diterbitkan, maka sanksi dendanya saja sudah Rp
20 juta (=2% x Rp 1 milyar).
Sanksi pajak
tidak hanya itu. Sebab manakala keterlambatan pembuatan Faktur Pajak tadi
mengakibatkan keterlambatan setor PPN, maka selain sanksi itu kita juga
berisiko kena sanksi bunga keterlambatan setor sebesar 2% sebulan (di mana
bagian dalam bulan dihitung sebagai satu bulan penuh). Perlu diketahui
bahwa PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak harus sudah disetorkan ke Kas
Negara paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPN
(bulan pembuatan Faktur Pajak).
Misalnya
terjadi transaksi penjualan di tanggal 31 Oktober 2011 sementara kita baru
membuat Faktur Pajak tanggal 1 Nopember 2011. Karena Faktur Pajak dibuat
pada tanggal 1 Nopember 2011, kita otomatis akan menyetor PPN pada akhir bulan
Desember 2011. Padahal, jika menurut UU PPN penyerahan terjadi pada
tanggal 31 Oktober 2011, maka Faktur Pajak seharusnya dibuat pada tanggal 31
Oktober 2011 dan PPN-nya disetor paling lambat tanggal 30 Nopember 2011.
Jika kita benar menyetorkan PPN-nya setelah tanggal 30 Nopember 2011, berarti
kita dianggap terlambat menyetorkan PPN dan dapat dikenai sanksi bunga 2%.
Jadi dengan
melihat sanksi-sanksi pajak yang disediakan tadi, maka tidak ada alasan buat
kita untuk acuh tak acuh dengan istilah ‘penyerahan BKP’ atau ‘penyerahan
JKP’ yang dipergunakan dalam UU PPN.
Penjelasan
Pemerintah
Terkait
dengan istilah ‘penyerahan BKP’, Pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 143 Tahun 2000 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
UU PPN Nomor 18 Tahun 2000, menjelaskan bahwa dalam memahami istilah penyerahan
BKP/JKP, harus dibedakan untuk setiap jenis BKP maupun JKP-nya. Dalam
memori penjelasan Pasal 13, PP Nomor 143 Tahun 2000 tadi menjelaskan pengertian
‘penyerahan BKP’ disertai dengan beberapa contoh ilustrasi.
Pertanyaannya,
apakah PP Nomor 143 Tahun 2000 itu masih berlaku dan layak untuk digunakan
mengingat bahwa UU yang menjadi acuannya sudah diubah dengan UU PP Nomor 42
Tahun 2009? Penulis belum bisa memastikannya karena penulis tidak ahli
dalam masalah hukum tersebut. Hanya saja, dalam hal ini penulis
berpendapat semestinya penjelasan dalam PP tersebut masih relevan dan masih
bisa digunakan dengan alasan sebagai berikut:
- Istilah ‘penyerahan BKP’ sudah muncul sejak reformasi pajak yaitu sejak diberlakukannya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983;
- Dalam beberapa kali amandemen atau perubahannya, istilah dan klausul ‘penyerahan BKP’ tidak mengalami perubahan. Istilah ini tidak mengalami perubahan baik dalam amandemen kedua (UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 yang menjadi acuan PP Nomor 143 Tahun 2000) maupun dalam amandemen ketiga (UU PPN Nomor 42 Tahun 2009);
- Karena tidak diubah dan tidak mengalami perubahan, maka penjelasan dalam PP Nomor 143 Tahun 2000 tersebut masih dapat dianggap relevan dan masih dapat digunakan.
Apalagi pada
tanggal 3 Agustus 2011 lalu, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran bernomor
SE-50/PJ./2011 mengenai penegasan dan penjelasan atas istilah ‘penyerahan
BKP’ maupun ‘penyerahan JKP’ sebagai dasar terutangnya PPN dan
penerbitan (pembuatan) Faktur Pajak. SE ini, menurut penulis tidak berbeda
isinya dengan penjelasan Pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000.
Lalu
bagaimana sebenarnya makna atau pengertian istilah ‘penyerahan BKP’
dan juga ‘penyerahan JKP’ menurut PP dan SE Dirjen Pajak
tersebut? Untuk mengetahuinya, lihat saja tulisan keduanya… :).
- ∞ -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar