Only Hope
khusus untuk orang yang mencintai dalam diam :)
Aku melihat bintang yang tersenyum dalam kelam.. Jika tersenyum menjadi terang, atau kadang menjadi padam tenggelam dalam kesunyian. Saat ia tersenyum cahaya itu ada, namun jika tidak, cahaya itu menghilang. Lantas kemanakah ia pergi? Alam serasa mati ditelan bumi. Mungkinkah dibawa senyap? Ataukah hilang dalam pilu? Semua terasa haru saat pena tinggal dalam kalbu. Sketsa pelangi itu? TIDAK!! karena ia telah terkonjungsi dalam aliran lensa yang terkontaminasi oleh runcingan bambu. Semakin tertahan akan menjadi lautan kosong, kering nan gersang. Lalu siapakah pelaku itu? Mungkinkah kau?” 09 nov ‘13
Pagi itu aku terkejut karena tepukan keras yang berasal dari jendela rumahku. Kau tau? Wanita separuh baya menegurku dari lamunan pagi ku. Ya. Ibu, aku adalah keluarga dari lima bersaudara. Hidupku sederhana, hanya bahagia saat mereka tersenyum dan tertawa lepas bersamaku.
Hari itu aku memulai aktivitas dengan menggali sedikit ilmu di putih abu-abu. Namaku Intan Dania. Mereka biasa memanggilku Dani. Iseng saja, sesampai di sekolah aku mengawali bincangan-bincangan layaknya mayoritas remaja.
Aneh, ada suatu hal yang membuatku tersenyum dan tersipu malu. Tatapan itu, ya. Aku mengenalnya, seseorang yang telah lama hadir dan selalu membuat hatiku dag dig dug jadinya. Danar namanya. Meskipun kau hanya sekedar masa lalu belaka, namun hubungan itu tetap terjalin baik, karena aku denganmu selalu ingin bersikap profesional. Selama satu tahun hubungan itu tetap sama dan masih sama, “TEMAN”, aku nyaman dengan status itu.
Di tengah kegelapan malam, tradisi yang dilakukan oleh kalangan remaja. Facebook, jejaring sosial yang selalu up to date bagi para remaja. Tanpa terkecuali aku. Dengan berbagai status yang terupdate, sering kali jempolmu mampir di statusku. Bahkan tanpa absen sekali pun menambah satu komentar. Bincangan aneh yang sering kali ku dengar dan selalu membuatku tertawa lepas. Namun ada satu hal yang membuatku termenung sejenak. Status itu, kenapa kau membuatnya? rasa yang tertinggal saat kau berwisata ke pantai itu. Apakah kau sudah terpikat oleh sosok yang lain?. Lantas mengapa kau membuatku seperti diambang laut?. Memang benar. Setelah kejadian waktu itu menyadarkan ku bahwa aku memang harus menjauhi mu. Mungkin kamu berfikir aneh, dan menganggap bahwa aku yang memulai. Memang aku tak pernah mengatakannya, tapi seharusnya kamu tau sikapku terhadapmu. Tapi aku sadar ketidak pekaan mu itu. Dan sifat ego mu yang tinggi membuat hubungan itu semakin renggang. Tidak ada waktu lagi untuk penjelasan. Menurut informasi yang ku dengar ialah kau memang mempunyai hubungan khusus dengan sosok itu. Orang bilang sih LDR, tau lah apa artinya. Aku bersorak dalam hati, “YEY!! Dia menemukan penggantiku”. hebat sekali!.. setelah aku menunggu sekian lama, dan ternyata itu balasan yang aku dapat. Terimakasih atas bingkisan tahun lalu, mungkin memang benar. Kau memintaku untuk save and care. Ya, aku ingat itu. But that only memories. Aku tak pernah menghubungimu lagi, menyapamu bahkan melirikmu. Meski ruangan bertetangga sekalipun. sementara itu kau tetap bertahan dalam ego mu.
Beberapa waktu telah berlalu. Tett teett… bunyi bel tanda pelajaran akan dimulai. Ilmu hitung. OH NO!!. i’m sorry, i’ve to go. I can’t understand over all. Seperti layaknya siswa yang lain, hati dan fikiran yang selalu menolak saat ilmu hitung telah menghantui. Say no to match!!. Kau tau? Pertanyaan pertama menyambarku. Aku diminta mengerjakan ulang tugas minggu lalu yang belum terselesaikan. Salah seorang wanita bermata empat serasa mengepungku karena bergaung di lahan kosong ini. Dengan tergegap dan terpaku, aku memberikan jawaban itu. Namun tak cukup membuat hatinya termanggut. Oh tidak, mimpi apa aku semalam? Otak ku serasa blank dan hampir frustasi dibuatnya.
Tepat tiga jam 135 menit 8100 detik aku terlepas dari jeruji yang menerkamku. “Ah, syukurlah, Allah masih menyayangiku”.
Bel istirahat itu berbunyi, seperti biasa, aku dan kedua temanku menghampiri salah satu teman yang berada di markas besarku. Unit Kesehatan Sekolah Namanya. Saat itu kami berniat untuk menjenguknya dan membawakan sebingkis kue dari koperasi. Kau tau? setiba di sana aku dikejutkan dengan sosok berdasi abu-abu yang menghadap ke arah berlawanan dari ku. Kau lagi. Syukur aku terhenti saat tepat di depan pintu. Dengan refleksnya aku langsung menghentikan langkahku dan berjalan mundur tanpa arah yang jelas. Aku takut saat kau mengetahui jika aku berada di sana waktu itu. Lantas apa kata teman-temanmu nanti? Pasti akan menjadi the Hot news on the weeks know. Aku tak mau hal itu terjadi. Seandainya kau tau perasaanku saat itu? Entahlah. Mungkin kau tetap mengabaikan. Sama seperti status yang selama ini ku buat tanpa hadirnya 1 jempol darimu. Harusnya kau tak perlu tau, hanya saja bagaimana perasaanmu terhadapku yang sepeka apakah itu. Mungkin terlalu lama aku menunggu jawaban yang tak jelas itu. Hei, perlu kau tau, saat melihatmu dengan tak sengaja itu, semua memori indah dan buruk berputar dalam sekejap. Terkadang aku berfikir, jika kamu punya perasaan pasti kamu faham bahwa apa yang kamu lakukan itu sangat menyakiti perasaanku. Memang benar, melupakanmu itu tak semudah mebalikkan telapak tangan.
Sepulang dari markas itu aku dikejutkan oleh pertanyaan yang menyambar telingaku. “bagaimana cara untuk bisa melupakan orang yang pernah hadir dalam hidup kita?” tanya salah satu temanku yang mengalami kontroversi sama dengan ku. Oh tuhan, apa yang mesti aku katakan? Saat ini saja aku masih mencari ramuannya untuk diriku sendiri. Aku berfikir sejenak, untuk menyembuhkan diriku sendiri saja masih tidak becus. Lantas bagaimana aku memberikan ramuan untuknya? Bisa jadi akan membuatnya semakin pilu dan terpaku. Tak ada satu kata pun yang bisa terucapkan. Mungkin hanya kisi-kisi yang pernah aku dapatkan dari buku itu. Biarlah mengalir apa adanya. Semboyan itulah yang bisa melegakan hatinya. Walau aku tak pernah tau bagaimana aku bisa dan mampu menjalaninya.
Kau ingat? Saat aku membuat status itu dan kau pun ikut membalasnya. Aku merindukan kamu yang dulu dan kau pun menjawab hal yang sama. Kapan hari aku juga pernah membuat status lain. Saat kau masih sering me–read and me-replaynya. Mungkin sedikit menyindir, tapi saat itu kau masih merespon. Dan bagiku itu moment penting yang sayang untuk dilewatkan. Kadang aku mulai berfikir kembali, kapan aku bisa mengulangi hal itu? Dengan kejadian yang sama, tempat yang sama dan orang yang masih sama pula. Ah bodoh, ironis memang jika aku masih mengharapkannya.
Masih ingat tidak setahun lalu? Moment yang menurutmu sangat penting itu. Dan kata mu aku adalah orang pertama yang memberikan ucapan itu. Bahagia? Tentu lah. Saat aku tetap mencoba melebarkan mataku hingga aku melihat pergantian malam, waktu dan hari yang berputar. Dan dengan alarm itu aku langsung sending ke hp-mu. Berharap kamu membalasnya. Tapi setelah aku menunggu selama 3600 detik tak ada satu pun message yang ku terima. Sedih? Iya lah. Tapi aku berusaha faham akan keadaan itu. Mungkin saja kau telah berada di bawah alam sadarmu sehingga kau tak tau bahwa satu pesan itu datang. Namun aku sedikit lega, karena responmu hadir saat menjelang pagi. Dan kau mengucap terimakasih karena aku adalah orang pertama yang mengucapkan itu. Tetapi… mengapa semua itu tak bisa jadi moment terpentingku juga? Aku menunggumu seperempat malam. Namun tak ada satu pun message yang ku terima. Bahkan dari jejaring sosial itu pun tak muncul nama mu. Kemana kau? Mengapa di saat moment terpentingku kau hilang seperti ditelan bumi? Kecewa? Sangat. Aku masih menuggu mu sore hari. Tapi apa daya, kau tetap tidak ada ujung kabarnya. Namun setelah tiga hari berlalu kau baru muncul. Dan langsung mengucapkan itu kepadaku. Kau mengucapkan maaf karena alasan hand phone mu yang rusak. Hebat. Hipnotis apa yang kau berikan kepada ku? Dengan begitu gampangnya aku langsung memaafkanmu.
Kembali dengan beberapa waktu lalu, moment pentingmu itu datang lagi. Ingin sekali aku mengucapkan itu. Bahkan i wanna the first. But who is me? Aku bukan siapa siapa mu lagi. Apakah kau masih menganggapku? Tapi aku tak ada hak untuk mengganggu mu sewaktu malam. Mungkin pagi harinya aku memiliki tekad. Namun tetap saja. Aku tak berani. Tak ada nyali lah bahasa gaulnya.
Sesampai di sekolah aku bertemu dengan sahabatku sekaligus teman satu kelasmu. Aku mengatakan bahwa hari ini adalah moment terpentingmu. Dan kau tau apa jawabannya? “kenapa kau tak mengatakannya? Mungkin memang dulu dia adalah masa lalu mu, namun dia sekarang adalah temanmu. Ucapkanlah jikalau kamu ingin mengucapkan. Supaya hatimu merasa lega”. Kutipan nasehat dari sahabatku yang membuatku semakin bingung jadinya. Tanpa tersadar aku berjalan ke arah yang sama, namun lagi-lagi aku bertemu dengan sosok itu. Oh Tuhan, kenapa harus saat ini? Aku diam terpaku. Dan temanku berhenti menemui mu untuk mengucapkan moment penting itu. Ma’mum aja lah fikirku. Aku pergi dan mengabaikanmu. Maaf.
Seiring berjalannya waktu, mengapa rasa yang paling norak sedunia itu selalu mengantuiku. Aku berharap jikalau suatu saat nanti, di saat tuhan mendengar doa dan harapanku, aku berharap akan ada jawaban darinya. Meski pun dengan kata Ya atau Tidak, aku yakin sesungguhnya Ia menjawab dan memintaku untuk menunggu pemberian jawaban yang terbaik pada waktunya. Dan aku akan menunggu, hingga rasa itu tak ada lagi korbannya.. Maafkan aku atas cara ku, sikapku dan rasa ku yang mungkin melukai kita.
Unknown
DeveloperCras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar