HARI ITU ADA ULANGAN MATEMATIKA

by 21.27 0 komentar

Hari itu ada ulangan Matematika, aku kurang suka sama pelajaran yang satu ini nih. Aku jarang dapat nilai bagus, aku orangnya gak jago ngitung
“Hei, ngelamun aja, non! Ntar ada Ulangan Matik, belajar gih.” goda Ardan.
“Iya, iya, ini juga lagi belajar. Ajarin aku dong yang ini rumusnya gimana…” pintaku pada Ardan.
“Beres Din, sini mana buku corat-coret kamu biar aku ajarin. Nih caranya begini…” jelas Ardan sambil menulis rumus matematika di bukuku.
Ardan adalah sahabatku, dia baik, lucu, pintar, ramah, macho, daaan… ehm… ganteng. Selama ini aku menyimpan rasa padanya, ingin ku ungkapkan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Aku ingin menjadi lebih dari sekedar sahabat bagi Ardan. Tapi apa daya, aku tidak punya nyali untuk mengatakannya.
Berkat bantuan Ardan, aku bisa lancar mengerjakan soal Ulangan. Thanks Ardan, I love you.
“Gimana tadi? Bisa kan?” tanya Ardan padaku seusai Ulangan.
“Bisa Dan, syukurlah. Makasih ya, Dan. Muuuaaacch…” jawabku girang.
“Syukur deh, eh udah bel istirahat nih. Jajan yuk, Din! Aku yang traktir deh!” ajak Ardan.
“Siap bos, kalo ditraktir mah… Ihihihi” gurauku.
Saat kami menikmati makanan, Ardan terlihat sedang memandangi sesuatu.
“Dan! Dan! Dan! Ardaaann!!!!” panggilku dengan suara keras.
“Eh, iya kenapa, Din?” tanya Ardan.
“Kamu tuh ya, dipanggil-panggil juga gak nyaut-nyaut. Lagi liatin apaan sih?” tanyaku penasaran.
“Aku lagi suka sama seseorang, Din. Pengen banget rasanya nembak dia, tapi apa dia mau sama aku?” curhat Ardan padaku.
“Suka sama siapa emang?” tanyaku.
“Jangan bilang siapa-siapa lho, Din. Aku suka sama Fany, cewek kelas 9B.” jawab Ardan.
Mendengar jawabannya, hatiku serasa terbakar api cemburu. Aku ingin marah, nangis, melampiaskan isi hatiku. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa memaksa Ardan untuk mencintaiku sepenuh hati. Ardan, seandainya kamu tau betapa aku sangat mencintai kamu.
“Kalau kamu suka, tembak aja. Lakukan apa yang dikatakan hati kamu. Kan gak baik cinta dipendam terus.” saranku pada Ardan, berusaha menyembunyikan rasa sedih bercampur marah yang berkecamuk di hatiku.
“Bener juga kamu Din, makasih ya sarannya. Kamu emang sahabat yang paling top deh!” puji Ardan senang.
Esoknya, Ardan menembak Fany dan mereka pun jadian. Aku tak sanggup menyembunyikan rasa sedihku hingga tak terasa butir-butir air mata menetes di pipiku.
“Ardan, aku ingin kamu tau bahwa aku cemburu saat kamu jadian dengan Fany. Apa kau tak paham-paham juga bahwa aku sangat mencintaimu.” batinku sedih.
“Hei nona, kenapa nangis?” tanya Ardan tiba-tiba.
Buru-buru aku mengusap air mataku, “Eng, enggak apa-apa kok. Cuma kelilipan debu.” jawabku.
“Sini ku tiup mata kamu supaya debunya ilang.” pinta Ardan sembari meniup mataku.
Aku sedikit lega, meskipun aku masih tak bisa menerima semua kenyataan pahit ini.
“Fany orangnya baik, gak salah aku tadi nembak dia, hehehe…” ujar Ardan.
“Iya Dan, semoga langgeng ya.” kataku cuek. Aku tak boleh egois, karena jodohku sudah ada yang mengatur. Aku harus kuat, harus bisa menerima kenyataan bahwa aku mungkin tak berjodoh dengan Ardan.
Setiap hari Ardan menceritakan hubungannya dengan Fany mulai dari first date, sampai beberapa konflik antara dirinya dengan Fany. Lama-lama aku tak tahan lagi. Haruskah aku terus memendam rasa ini. Semakin dalam rasa ini kupendam, aku semakin merasakan sakit. Orang yang teramat ku cintai sudah menjadi milik orang lain. Sampai hari ini aku masih belum bisa menerima kenyataan walau aku bertekad bahwa aku harus kuat.
Suatu hari saat aku sedang belajar, Ardan mengirimkan pesan BBM padaku. “Dinda, aku mau nunjukkin sesuatu ke kamu. Kita ketemuan di Taman Anggrek jam 19.15 ya. Sampai ketemu di Taman.”
Aku bertanya-tanya dalam hati, akankah Ardan menembakku di taman nanti. Ku harap begitu
Sesampainya di taman, Ardan mengeluarkan sebuah cincin yang bisa dibilang tidak murah. “Bagus kan? Cincin ini akan kuberikan pada Fany sebagai hadiah ulang tahunnya.” ujar Ardan berseri-seri. Bukan main, sedihnya hatiku. Ku kira Ardan memanggilku malam-malam ke taman yang romantis hanya untuk menunjukkan hadiah untuk Fany. Aku tak tahan lagi. “Fany lagi, Fany lagi. Apa kamu lupa tentang persahabatan kita? Ardan, asal kamu tau aku sangat mencintai kamu, Dan. Rasa cintaku bahkan lebih besar dari cinta Fany padamu apa sampai sekarang kamu masih belum sadar juga? Waktu kamu jadian dengan Fany, aku nangis. Aku nangisin kamu, Dan. Aku sayang, aku cinta sama kamu dari dulu. Tapi aku tak berani mengungkapkannya, Dan. Selamat tinggal.” kataku pada Ardan dengan nada tinggi. Aku menangis sejadi-jadinya malam itu. Aku tak tau apakah Ardan akan membalas cintaku atau tidak, aku tak peduli. Aku kesal padanya.
Sesampainya di rumah, tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Dunia terasa berputar, dan aku tak ingat apapun lagi.
Saat aku tersadar, aku telah berada di rumah sakit. “Sayang, kamu sudah bangun, Nak?” tanya ibuku yang berada di samping ranjangku.
“Ibu? Kenapa aku bisa ada di rumah sakit, Bu?” tanyaku.
“Sabar, ya nak.” jawab ibuku mengusap-ngusap rambutku.
“Ada apa ibu? Jawab bu, aku ingin tau bu!” pintaku.
“Kamu terkena Leukimia nak, sudah stadium akhir.” jawab ibuku sedih. Aku terkejut, apa umurku tidak akan lama lagi. Kanker yang sudah stadium akhir sangat sulit disembuhkan. Aku hanya bisa menangis. Pasrah menerima keadaan ini.
“Ibu, Ardan mana Bu? Aku ingin bertemu dengan Ardan.” tanyaku.
“Ardan belum datang Din, mungkin nanti” jawab ibuku.
“Permisi tante, boleh saya masuk?” tanya Ardan yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku.
“Eh nak Ardan, boleh boleh ayo masuk.” jawab ibuku ramah. “Ibu tinggal dulu ya, ibu ada keperluan.” kata ibuku sembari berlalu.
“Gimana keadaan kamu, Din?” tanya Ardan.
“Baik kok.” jawabku singkat.
“Maaf, soal kemarin. Aku emang gak berguna, Din. Aku gak pernah bahagiain kamu. Yang aku pikirkan Cuma Fany dan Fany. Padahal kamu sudah berbuat banyak untukku, sebagai sahabat terbaikku.” ujar Ardan sedih.
“Gak apa-apa, Dan. Aku sudah menerima semuanya.” kataku sambil tersenyum.
“Din, kamu mau gak, jadi pacar aku?” tanya Ardan.
“Apa kamu nembak aku gara-gara perkataanku kemarin. Sudahlah, cinta kan tidak bisa dipaksakan. Kan kamu punya Fany yang selalu mendampingi kamu.” jawabku.
“Nggak kok, Din. Aku benar-benar mencintai kamu tulus dari lubuk hatiku ini. Aku janji akan bahagiain kamu, Din. Soal Fany, kami sudah putus karena kami kemarin konflik. Tak ada lagi kecocokan di antara kami.” jelas Ardan.
“Emm…, iya deh. Aku mau jadi pacar kamu, Dan.” kataku girang. Aku senang sekali, akhirnya aku bisa menjadi kekasih Ardan. Pujaan hatiku sekaligus sahabatku. Begitu pula dengan Ardan, ia terlihat gembira sekali mendengar jawabanku.
Setiap hari Ardan melayaniku, ketika aku lapar ia menyuapiku, ketika aku bosan ia menghiburku. Ia benar-benar laki-laki yang baik hati dan mengerti perempuan. Aku bersyukur memiliki kekasik seperti Ardan. “Ardan, makasih ya atas semuanya. Kalau aku sudah tiada, jangan sedih ya. Aku ingin terus melihat senyuman kamu. Meski kita di tempat berbeda.” pesanku pada Ardan.
“Kamu itu ngomong apaan sih, kayak kamu mau mati aja. Kamu pasti sembuh kok, Din.” ujar Ardan.
Suatu hari aku merasakan sakit yang amat sangat, mungkin waktuku sudah tidak lama lagi. Dokter mencoba menyelamatkanku, tapi sayang usahanya sia-sia. Dokter keluar dari kamar tempatku di rawat. “Maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Tetapi nyawa Dinda tidak bisa terselamatkan.” kata Dokter pada Ayahku, Ibuku, dan Ardan.
“Din, Dinda meninggal? Kenapa bisa begitu dok? Ini gak mungkin dok!” kata Ardan. Ia dan orangtuaku menangis sejadi-jadinya.
“Dik, nak Dinda terkena Leukimia stadium akhir. Kankernya sudak menjalar ke seluruh tubuh, nyawa Dinda tak bisa kami selamatkan. Maafkan kami.” jawab dokter itu sambil menepuk pundak Ardan.
Ardan berlari ke kamarku, memeluk ragaku yang sudah tak bernyawa. “Dinda, kamu jangan tinggalin aku Din. Aku bodoh, aku tak bisa menjadi sahabat yang baik. Aku cuma bikin kamu sedih. Aku bahkan gak tau kamu cinta sama aku, Din. Maafin aku Din, bangun Din! Banguuun…!” Ardan menangis terisak sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Ini nak ada titipan dari Dinda sebelum dia meninggal.” ujar ayahku sembari mengulurkan sebuah kado. Isinya ternyata boneka Teddy Bear coklat. Lalu Ardan membaca pesan yang tertera di tutup kado tersebut.
“Hai Ardan, makasih ya kamu udah mau menemaniku di hari-hari terakhir dalam hidupku. Hari-hari itulah yang paling berkesan buatku. Mungkin saat kamu membaca surat ini, aku sudah tiada. Gak ada lagi Dinda yang manja dan tukang ngambek hehehe… ^_^ Ini ada hadiah untukmu, simpan ya untuk kenang-kenangan. Jangan dibuang atau dijual -___- :v Canda doang :D Semoga dengan adanya beruang teddy ini, kamu bisa ingat aku. Meskipun aku udah nggak ada. Tapi ingat, aku akan slalu ada di hati kamu. Selamanya”
Ardan sangat sedih, ia masih belum menerima kepergianku. “Selamat jalan, Dinda.” ucap Ardan dalam hati. Ia terus menggenggam kado pemberian Dinda, kekasih tercintanya.
TAMAT

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com tipscantiknya.com kumpulanrumusnya.comnya.com