Aku masih terpaku pada deretan bunga
sepatu di hadapanku. Bunga yang telah terkatup layu seiring dengan telah
lamanya aku menanti seorang pria yang mengajakku kencan di taman ini. Tiga
puluh menit dari jadwal janjian, terasa tak jadi masalah saat dari kejauhan
terdengar seseorang memanggilku. Namun saat kupalingkan wajahku, aku kecewa
bukan main ternyata hanya kegaduhan orang-orang disebrang jalan.
Kembali aku fokuskan perhatianku pada rangkaian bunga dihadapanku. Sesekali kulirik wajahku pada kaca mungil yang sengaja kubawa. Aku harus memastikan saat Dannis datang aku bisa terlihat lebih cantik. Soalnya dia adalah laki-laki pertama yang aku persilahkan untuk mengajak diriku berkencan, ya walau hanya di taman kota saja. Dannis adalah teman sekelasku yang dua tahun terakhir ini aku idam-idamkan tembakannya. Padahal sebelumnya waktu menginjak kelas satu SMA aku sangat tidak akur dengan cowok tengil itu.
Tapi karena suatu moment saat aku cidera diperlombaan basket antar sekolah, dia dengan gagahnya membopong tubuhku. Dari kejadian itulah aku mulai mengalihkan fikiran jelekku kepadanya. Dari yang tadinya evil yang paling dihindari, kini jadi sosok pangeran penolong yang dinantikan kehadirannya.
Jarum jam telah menunjuk angka sembilan.
“Oh Dannis, setega itukah kamu? udah dua jam Nis hikss…..,” aku tejatuh dalam tangis. Anganku telah hancur lebur karena sebuah janji yang tidak ditepati.
Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku mendapati sepucuk surat beramplop merah jambu terselip di mejaku.
Kembali aku fokuskan perhatianku pada rangkaian bunga dihadapanku. Sesekali kulirik wajahku pada kaca mungil yang sengaja kubawa. Aku harus memastikan saat Dannis datang aku bisa terlihat lebih cantik. Soalnya dia adalah laki-laki pertama yang aku persilahkan untuk mengajak diriku berkencan, ya walau hanya di taman kota saja. Dannis adalah teman sekelasku yang dua tahun terakhir ini aku idam-idamkan tembakannya. Padahal sebelumnya waktu menginjak kelas satu SMA aku sangat tidak akur dengan cowok tengil itu.
Tapi karena suatu moment saat aku cidera diperlombaan basket antar sekolah, dia dengan gagahnya membopong tubuhku. Dari kejadian itulah aku mulai mengalihkan fikiran jelekku kepadanya. Dari yang tadinya evil yang paling dihindari, kini jadi sosok pangeran penolong yang dinantikan kehadirannya.
Jarum jam telah menunjuk angka sembilan.
“Oh Dannis, setega itukah kamu? udah dua jam Nis hikss…..,” aku tejatuh dalam tangis. Anganku telah hancur lebur karena sebuah janji yang tidak ditepati.
Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku mendapati sepucuk surat beramplop merah jambu terselip di mejaku.
Hi Asmi…..
Malam ini aku haraf kita bisa ketemu….
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Mi….
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa….
-Dannis-
Malam ini aku haraf kita bisa ketemu….
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Mi….
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa….
-Dannis-
Ku ulang kembali hingga tiga kali, aku baca dengan super apik, terutama dibagian pengirim.
“Oh Tuhan, Dannis?” suasana bahagia bercampur haru menyelimuti hatiku.
Nuansa kelas menjadi indah dipenuhi bunga warna-warni. Hingga seseorang menepuk pundakku. Dan suasana kembali berubah menjadi kelas dua belas saat jam istirahat. Sepi, dan terkapar tak berdaya buku-buku yang dilempar majikannya.
“Asmi….”
“Ehhh….. Via, kenapa Vi?
“Loe yang kenapa? Dari tadi Gw intip dari jendela Loe senyum-senyum sendiri….”
Aku disuguhi pertanyaan yang membuat aku kikuk sendiri. Aku tidak bisa membayangkan seberapa merah wajahkun saat itu. Yang pasti saat itu aku benar-benar tertunduk.
“Eng….ngak ko Vi, aku gak kenapa-napa”, sahutku gugup.
“Ya udah Gw mau ke kantin aja, mau ikut gak Mi?”
“Oh gak, maksih aku gak laper.”
Aku segera membalikkan tubuhku, memburu kursi dipojokan kelas. Namun baru beberapa langkah, hartaku yang paling berharga disabet oleh orang dibelakangku.
“ehhhh..”
“Haaa… ternyata ini toh yang bikin Loe jadi gak laper? Hahhahah…”
“Via kembaliin!” ku rebut kembali kertas berharga itu.
“Yah Loe ini Mi, sekalipun Gw gak baca tapi Gw udah tahu isinya apaan.”
“So tahu kamu!”
“Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya nanti malam dia mau……” omongan Via tertahan dengan kedatangan seseorang yang dari tadi dibicarakan.
“Dannis…..” sahut ku dan Via kaget.
“Aduh hampir saja” bisik Via pelan.
“Kenpa Vi?” tanyaku penasaran.
“Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!”
“Lantas loe mau kemana Vi?” tanyaku semakin heran.
“Ke WC ya Vi? ya udah sana!” tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata kirinya.
“Oh ya bener, hhehhe”
Via telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.
“Gimana?” Tanya Dannis.
“Gimana apanya Nis?”
“Tuu…” tunjuknya ke arah kertas dijemariku.
“Oh oke deh aku mau”
“Ya udah Gw cabut dulu ya!” sahutnya salah tingkah.
“Oh ya…” aku tak kalah salting.
Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar pergi dia memanggilku.
“Hmmm…. Vi jangan ampe telat ya!”
“Ok sipp!”
“Awas loh”
“Iya bawel”
***
Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang kerumah. Sesampainya dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan Bunda, yang malah bikin hatiku semakin hancur saja. Beribu pertanyaan Bunda menghujani aku.
“Dari tadi kamu kemana saja?”
Aku hanya terdiam kaku tanpa menjawab pertanyaan Bunda.
“Jawab!” kali ini nada suara Bunda meninggi,
”Kamu tahu? anak perawan gak baik keluyuran jam segini!” sambung Bunda.
Aku masih tak memberikan respon apa-apa.
Plakkk
Sebuah tamparan menggores pipiku, “Oh Tuhan sakit sekali” bisikku dalam hati.
“Bunda jahat!” aku segera masuk kekamar, kututup rapat pintu kamarku.
Malam ini sungguh menjadi malam yang paling berat untukku. Ini adalah kali pertama Bunda menampar dan memarahiku. Belum lagi dengan perasaanku yang masih kecewa karena kencan pertamaku gagal, karena Dannis tak hadir diundangannya sendiri.
“Oh Tuhan, semalang itukah nasib ku?”
Aku kembali terhanyut dalam tangis, hingga akhirnya aku tertidur pulas.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Fikirku sudah matang, sesampainya disekolah akan ku beri tamparan mereka berdua.
“Via sama Dannis itu dari mulai sekarang bukan temanku lagi, teman macam apa mereka? Berani ngerjain aku ampe separah itu!” gerutuku kesal
Kakiku masih mengayuh, menyusuri pinggiran jalan kota yang ramai. Namun saat aku melewati Taman Kota kakiku serasa tertahan, aku mengingat peristiwa tadi malam.
“Cuihh….. aku bakalan balas semua rasa sakitku tadi malam!” aku kembali bergerutu kesal.
Aku samakin kesal saat aku menyadari banyak kelopak bunga mawar berantakan diruas jalan.
“Apa-apaan nih, mereka kira aku lagi jatuh cinta apa?” dunia pun seakan menertawakan rasa sakitku dengan menabur bunga di jalanan yang aku lewati ini.
Aku berlari kencang meninggalkan keanehan yang membuat aku semakin gila. Tak membutuhkan waktu yang lama aku telah sampai disekolah.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari dua orang biadab itu. Tiga puluh menit telah berlalu, aku sudah mengubek-ubek isi sekolah tapi hasilnya nihil, keduanya hilang bak ditelan bayang. Hingga bell masuk pun tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran dimulai, baru sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget “Aku haraf itu Dannis atau Via”. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas kami.
“Pagi anak-anak”
“Pagi Bu……” jawab murid hamper serempak.
“Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada kalian”. Semua anak kelas dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan Bu Jen.
“Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia mengalami kecelakaan yang cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat tertolong”. Suara Bu Jen semakin melemah.
Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimana-mana. Aku sendiri terpasung dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah sedih yang tak tertahankan.
“Dannissssss!!!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya, aku berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya aku telah bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal dipenuhi kelopak bunga yang telah layu diinjak pengguna jalan.
“Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah”
Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.
Dear……
Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis
Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis
Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.
“Dannis…..Hiks” kepala ini semakin tak tertahan, dan akhirnya aku terkapar dalam ketidaksadaran.
***
Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku lihat dengan pasti wajah Bunda dan Via penuh dengan kehawatir dan penasaran.
“Asmi kayaknya udah sadar Tant”
“Iya”
“Aku kenapa Bund?” tanyaku dengan nada berat.
Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian sebelum aku terkapar dalam tempat tidur ini,
“Dann….” Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku. Bunda menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus ucapanku,
“Iya, kamu yang sabar ya nak”
Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang mengalir deras dipipiku.
Via memeluku erat,
“Maafin Gw ya Mi, Hiks… Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat Loe.”
“Hiks…… Dannis”
***
Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak ingin brtemu siapa-siapa.
Tukk tukkkk…..
Seseorang mengetuk pintu kamarku
“Asmi , nih ada Nak Via pengen ketemu kamu.”
“Pergi Kamu!!” bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat diwajah Via saat Bunda membuka pintu kamarku.
“Mi ini Gw, Via”
“Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!”
“Ya Gw Mi, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang membuat Dannis sadar tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis sadar kalo cintanya gak bertepuk sebelah tangan!”
“Jadi Dannis……..” ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Via yang basah karena air mata, “Bohong!” bentakku bringas.
“Gak Mi!”
“Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati” sahutku sinis.
“Gak Mi, Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh menit, dia terus manggin-manggil Loe, tapi Loe gak denger,” ucapannya terhenti, sesaat Via mengambil nafas panjang “Loe malah sibuk sama riasan Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!”
“Bohong!”
“Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke Taman karena dia kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.”
“Dannis….Jadi”
“Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe Mi! Pliese Loe jalani hidup Loe lagi, buat Dannis Mi!”
“Hiks…….”
Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku. Karena aku telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena aku mencintai Dannis, laki-laki yang mencintai aku.
***
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar