“Kita mencintai seseorang karena kita memilih untuk mencintainya. Rasa yang indah ini memang anugerah Allah, tapi diri kita sendirilah yang memegang kontrol penuh atas perasaan yang membuncah dalam dada ini. Diri kita sendirilah yang bertanggung jawab atas hati yang berbunga-bunga setiap bangun pagi ini.
Inilah yang bapak bilang cinta yang dewasa. Ketika cinta ada di atas kesadaran. Bukan ‘aku mencintainya karena dia bla bla bla’, melainkan ‘aku mencintainya karena aku memilih untuk mencintainya. Aku percaya bahwa bersamaku dia akan bla bla bla…’. Ini cinta yang menumbuhkan. Meski tentu saja tak akan pernah semurni cinta orang tua pada anaknya yang tiada bandingannya.”
-Rijal Rafsanjani
“Pernah denger cerita tentang katak yang berlomba-lomba manjat menara? Sepanjang mereka memanjat mereka diteriaki kalimat-kalimat negatif ‘sudahlah kamu gak mungkin bisa, itu tinggi sekali’ atau ‘kamu cuma katak, kamu gak akan bisa manjat sampai atas’, sampai akhirnya banyak yang menyerah dan turun lagi hingga tersisa satu yang sampai puncak. Apa yang membedakan katak yang sampai ke puncak dengan katak-katak lain yang ‘berjatuhan’? Secara fisik tidak jauh beda dan semua dari spesies yang sama. Tapi kenapa katak itu bisa sampai puncak?
Katak itu tuli.
Rijal, kadang kita perlu menjadi tuli. Kadang kita perlu mengabaikan kalimat-kalimat negatif yang menghampiri kita, bahkan ketika teriakan itu diucapkan oleh diri kita sendiri. Sebagian suara barangkali ada untuk kita dengar, sisanya ada untuk kita abaikan. “
-Annisa Larasty
Aku masih duduk dalam kedai itu, ditemani dua cangkir kopi dingin yang bahkan nampaknya lebih setia untuk terus denganku daripada kamu yang telah beranjak. Keegoisanku mulai hadir, mendramatisasi setiap hal yang terjadi. Bagaimanapun, aku tak pernah membayangkan kita kembali dipertemukan dalam situasi sepelik ini—setidaknya bagiku.
Kulihat arloji di tanganku: 14.32. Sementara telah bertahun-tahun aku merindukan jumpa ini, rupanya tak sampai dua jam kita bersua dan duduk berdua. Hidup terkadang memang lucu, dagelan dengan skenario tak tertebak yang terus menggelitik kita dengan kesenangan dan kesedihan, dengan kebahagiaan juga kepedihan.
Bagaimana rasanya dipertemukan, jatuh cinta, dipisahkan bertahun-tahun tanpa kejelasan apa-apa, lalu dipertemukan kembali dalam ruang ketakberdayaan? Di ruang itu kita bisa saling menyapa, tapi kita masing-masing terpaksa menjadi orang lain. Karena menjadi diri sendiri hanya akan menabur garam pada tiap inchi luka yang kita rasa—luka yang kita ciptakan sendiri.
Aku tertawa: hidup ini memang lucu.

 …
Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku dipenuhi banyak sekali pikiran. Apakah semua laki-laki begitu? Apakah bagi laki-laki perasaan adalah semacam permainan? Teman, katanya. Meski dia tak pernah bilang suka padaku, bukankah kami selalu berkirim surat hampir setiap hari, saling bercerita, membahas banyak hal. Apa artinya surat-surat itu baginya?
Barangkali aku memang bukan siapa-siapa. Begitu pun dirinya, ia bukan siapa-siapa. Harusnya aku tahu, bahwa aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Dan jatuh cinta pada orang yang tak benar-benar dikenal adalah sebuah kesalahan. Kesalahan besar.
Sejak awal, hidupnya adalah misteri. Dirinya yang sejati tinggal di sebuah tempat tersembunyi tanpa rute menuju ke sana. Aku tak pernah bisa menembusnya, sekuat apa pun aku mencoba. Maka aku hanya bisa duduk di sini, menanti dirinya keluar dengan sendirinya. Namun, pada titik itulah justru aku mulai menyadari, bahwa apa yang selama ini kurindukan adalah apa yang sebenarnya tak pernah kuharapkan.
Dirinya keluar dan menghampiriku dengan wajah tanpa dosa, disempurnakan dengan senyum yang seolah menjelaskan bahwa semua baik-baik saja. Ia duduk di sampingku, menghancurkan dinding pembatas yang telah lama berdiri di antara kami, semata-mata untuk membangun tembok yang lebih tinggi lagi.
Ia mendekat untuk menjauh, membuat hatiku rasanya tak punya pilihan kecuali patah.

Untukmu calon imamku...
Ku tulis kisah ini dimalam-malamku yang panjang
Bagai goresan getar hati dalam rindu yang tertahan
Untukmu seseorang yang akan menemaniku dimasa depan
Kamu..
Siapa kamu ?
Siapa namamu?
Dimana kamu berada?
Aku menantimu....
Bersama semua pengabdianku yang tertunda
Bersama Segenap cinta yang tak akan sempuna
Bila engkau tak kunjung hadir dihadapanku
Untukmu calon imamku...
Yang aku tidak tahu dimana engkau berada
Suatu saat bila engkau datang
Tolong cintai aku karena allah
Bimbinglah aku
Jadilah imam dalam sholatku
Izinkan bakti dan taatku
Menyatu bersama senyum diwajah teduhmu
Izinkan cinta dan rinduku terpatri kuat didalam hati dan pikiranmu
Untukmu calonku yang entah sedang apa...
Ketahuilah aku ini adalah orang asing untukmu
Nanti terangkanlah apa-apa yang tidak ku mengerti darimu
Terangkanlah apa-apa yang tidak engkau sukai
Agar aku bisa mengenalmu secara utuh
Untukmu calon imamku yang sedang memantaskan dirinya dihadapan Allah
Ketahuilah bahwa akupun disini selalu menantimu dalam taat
Menanti untuk menjadi belahan jiwamu
Menanti untuk menjadi penyejuk hatimu
Dan aku menanti jadi bidadarimu...
Sampai bertemu ...
Pada suatu masa...
Calon imamku...




Tadi saya melihat beberapa postingan di media sosial yang cukup bermanfaat, mengingatkan kita bahwa kita seringkali terlena dengan kehidupan luar berambisi untuk bisa memimpin orang lain, membuat orang lain tertawa dan katanya mengabdikan diri untuk kampus tercinta, tetapi apakah kita lupa? bahwa ada surga dirumah kita... Yakni Orang tua dan keluarga tercinta :)
 
Dimana Rumahmu Nak?
Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu Nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil Ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi seorang ibu aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu Nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia Nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berpikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku, kita memang berada di satu atap Nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu Nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk Ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi Ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk Ibu. Atau jangankan untuk tersentum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu Nak, Ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang Ibu yakin engkau pasti lebih tau. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau Nak, tapi bukankah aku ini ibumu? Yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku...
Anakku, Ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk Nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, Ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati Ibu mulai bertanya Nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini Nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menyakan keadaan adik-adikmu Nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu?
Anakku, Ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat enkau merasa sangat tidak produktif harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang Nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan, Tapi bukankan keluargamu ini adalah tugasmu juga Nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga Nak?
Anakku, Ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu pada Nak, ada rapat di sana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada Nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal Nak, andai engkau tahu sejak kau ada di rahum ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku...
Kalau boleh Ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh Ibu bertanya Nak, dimana profesimu untuk Ibu? Dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat?
Ah, waktumu terlalu mahal Nak. Smapai-sampai Ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama Ibu...
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak, dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena tanpa ridhamu, mustahil kuperoleh ridha-Nya...
(Sumber: Handbook panitia Kajian Islam Intensif Padmanaba 2012, KIIP Believing)
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com tipscantiknya.com kumpulanrumusnya.comnya.com